-->

Selasa, 30 April 2013

PROBLEMATIKA ABORSI DI INDONESIA


Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta diantaranya adalah kalangan remaja. Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa. 62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metode aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13 persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan akupunktur.
Ketua KPAI Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata terjadi 2 juta kasus aborsi per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun. Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh perempuan yang memiliki suami. Data serupa juga diungkap oleh Inne Silviane, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Pusat, pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang sudah menikah karena program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin aborsi ialah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi (majalah Detik, Juli 2012). Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan siapa pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya cenderung terus meningkat.
Beberapa kalangan meyakini faktor pendorong melakukan aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka diliputi rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang tua ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka mengenai kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus memberi pendampingan dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada hubungan seks pranikah. Karena, ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah perempuan jika kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi, meskipun aborsi dilakukan maupun tidak.
Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan jelas bahwa jika terjadi KTD, perempuan pasti akan menolak keberadaan janin dalam rahimnya, perasaan dendam, tidak menginginkan, depresi, harus menghadapi stigma miring masyarakat yang tidak menganggap ia sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi solusi terbaik yang diambil. Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi, melanjutkan pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta alasan kesehatan.
Takut diangggap aib keluarga
Selain faktor diatas, ada faktor eksternal yang lebih mendorong terjadinya aborsi dilihat dari konstruksi sosial kebanyakan perempuan mengambil keputusan aborsi karena faktor-faktor di luar dirinya, perempuan takut akan kemarahan keluarga, tidak mau dianggap sebagai aib keluarga, tertekan, perasaan belum siap menjadi ibu, dan malu pada lingkungannya. Masyarakat lebih cenderung memberi penghakiman norma kesusilaan dan stigma negatif pada perempuan yang mengalami KTD pranikah maupun pada anak yang di dalam rahimnya. Akhirnya, segala hal tersebut terakumulasi dan aborsi dianggap solusi terbaik dari tekanan konstruksi sosial yang terjadi. Sehingga, dampak dari pascaaborsi yang bisa mengancam kesehatan dan nyawa perempuan terbaikan.
Peran negara seharusnya lebih mengayomi perempuan dalam masalah aborsi ini. Aborsi yang aman dan terjangkau, dilakukan oleh ahli dalam bidangnya yang mengerti tentang protokol dan hukum mengenai aborsi. Kesehatan reproduksi perempuan adalah hal yang penting terkait dengan dampak pasca-aborsi. Dalam rangka menekan terjadinya KTD bukan hanya kampanye kondom tapi pengetahuan pendidikan seks dan pengetahuan aborsi yang aman berikut dampaknya melakukan aborsi. Pengetahuan mengenai kontrasepsi yang sesuai dan terjangkau perlu digalakkan pada setiap lapisan masyarakat. Bimbingan konseling perlu untuk mereka yang mengalami KTD, agar aborsi bukan dijadikan solusi final. Ada banyak solusi lain yang bisa dilakukan selain aborsi.
Peran orang tua dan sekolah harus turut serta dalam memberi pengetahuan pendidikan seks yang sesuai jenjang umur anak. Orang tua harus terbuka pikirannya bahwa pendidikan seks bukanlah hal yang tabu, tapi penting. Maka dari itu kedekatan antara orangtua dan anak harus terjalin. Jangan sampai seorang anak melakukan seks pranikah, perkosaan, hanya karena alasan ingin tahu akibat dari sumber informasi yang salah. Tindak aborsi bisa dapat dikendalikan angkanya, jika KTD bisa diantisipasi sebelumnya. Stigma negatif pada perempuan yang mengalami KTD dari seks pranikah, dan perkosaan dari masyarakat harus dirubah. Masyarakat harus menerima merengkuh mereka sebagai wujud kampanye anti aborsi. Tidak ada aborsi yang aman, kemungkinan efeknya tetap ada baik psikologis maupun berkaitan dengan kelangsungan kesehatan reproduksi perempuan.

Tidak ada komentar: