Kasus aborsi di Indonesia diperkirakan semakin meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),
diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,5 juta
jiwa dari 5 juta kelahiran pertahun. Bahkan, 1-1,5 juta diantaranya
adalah kalangan remaja. Data yang dihimpun Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menemukan dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus
meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun
berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang
paksa. Sementara itu, pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta
jiwa. 62,6 persen pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18
tahun. Metode aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen
melalui oral dan pijatan, 13 persen melalui cara suntik, 8 persen
memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan
akupunktur.
Ketua KPAI Maria Ulfah
Anshor mengatakan bahwa pada 2003, rata-rata terjadi 2 juta kasus aborsi
per tahun. Lalu pada tahun berikutnya, 2004 penelitian yang sama
menunjukkan kenaikan tingkat aborsi yakni 2,1-2,2 juta per tahun.
Kehamilan pranikah angkanya 12,7 persen, dan 87 persen dilakukan oleh
perempuan yang memiliki suami. Data serupa juga diungkap oleh Inne
Silviane, Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI) Pusat, pelaku aborsi justru paling banyak adalah perempuan yang
sudah menikah karena program KB-nya gagal. Data studi PKBI di 12 kota
dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan, 73-83 persen wanita yang ingin
aborsi ialah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi (majalah Detik,
Juli 2012). Berapapun jumlah aborsi yang terjadi di Indonesia dan siapa
pelakunya remaja atau wanita yang sudah menikah, yang menjadi
pertanyaan adalah apa yang menjadi penyebab aborsi ini angkanya
cenderung terus meningkat.
Beberapa kalangan meyakini faktor
pendorong melakukan aborsi adalah kehamilan yang tidak direncanakan
akibat dari seks pranikah, perkosaan, dan kontrasepsi yang gagal. Pertama, seks pranikah dilakukan saat usia mereka diliputi
rasa penasaran dan ingin mencoba, tapi tidak mau bertanya pada orang
tua ataupun guru konseling, dan terlebih lagi pengetahuan mereka
mengenai kontrasepsi masih minim. Akhirnya, mereka mendapatkan informasi
dari sumber-sumber yang salah seperti film porno. Orang tua harus
memberi pendampingan dan pendidikan seks agar tidak terjerumus pada
hubungan seks pranikah. Karena, ujung-ujungnya yang menjadi korban
adalah perempuan jika kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi, meskipun
aborsi dilakukan maupun tidak.
Kedua, perkosaan. Dalam kasus perkosaan
jelas bahwa jika terjadi KTD, perempuan pasti akan menolak keberadaan
janin dalam rahimnya, perasaan dendam, tidak menginginkan, depresi,
harus menghadapi stigma miring masyarakat yang tidak menganggap ia
sebagai korban. Sehingga, aborsi menjadi solusi terbaik yang diambil.
Ketiga, kontrasepsi yang gagal. Aborsi ini sering dilakukan oleh
perempuan yang sudah menikah, dengan alasan ekonomi, melanjutkan
pendidikan, ikatan kerja, alasan tidak ingin menambah anak, serta alasan
kesehatan.
Takut diangggap aib keluarga
Selain faktor diatas, ada faktor
eksternal yang lebih mendorong terjadinya aborsi dilihat dari konstruksi
sosial kebanyakan perempuan mengambil keputusan aborsi karena
faktor-faktor di luar dirinya, perempuan takut akan kemarahan keluarga, tidak mau
dianggap sebagai aib keluarga, tertekan, perasaan belum siap menjadi
ibu, dan malu pada lingkungannya. Masyarakat lebih cenderung memberi
penghakiman norma kesusilaan dan stigma negatif pada perempuan yang mengalami KTD pranikah maupun pada anak yang di dalam
rahimnya. Akhirnya, segala hal tersebut terakumulasi dan aborsi
dianggap solusi terbaik dari tekanan konstruksi sosial yang terjadi.
Sehingga, dampak dari pascaaborsi yang bisa mengancam kesehatan dan nyawa perempuan terbaikan.
Peran negara seharusnya lebih
mengayomi perempuan dalam masalah aborsi ini. Aborsi yang aman dan
terjangkau, dilakukan oleh ahli dalam bidangnya yang mengerti tentang
protokol dan hukum mengenai aborsi. Kesehatan reproduksi perempuan
adalah hal yang penting terkait dengan
dampak pasca-aborsi. Dalam rangka menekan terjadinya KTD bukan hanya
kampanye kondom tapi pengetahuan pendidikan seks dan pengetahuan aborsi
yang aman berikut dampaknya melakukan aborsi. Pengetahuan mengenai
kontrasepsi yang sesuai dan terjangkau perlu digalakkan pada setiap
lapisan masyarakat. Bimbingan konseling perlu
untuk mereka yang mengalami KTD, agar aborsi bukan dijadikan solusi
final. Ada banyak solusi lain yang bisa dilakukan selain aborsi.
Peran
orang tua dan sekolah harus turut serta dalam memberi pengetahuan
pendidikan seks yang sesuai jenjang umur anak. Orang tua harus terbuka
pikirannya bahwa pendidikan seks bukanlah hal yang tabu, tapi penting.
Maka dari itu kedekatan antara orangtua dan anak harus terjalin. Jangan
sampai seorang anak melakukan seks pranikah, perkosaan, hanya karena
alasan ingin tahu akibat dari sumber informasi yang salah. Tindak aborsi
bisa dapat dikendalikan angkanya, jika KTD bisa diantisipasi
sebelumnya. Stigma negatif pada perempuan yang mengalami KTD dari seks
pranikah, dan perkosaan dari masyarakat harus dirubah. Masyarakat harus
menerima merengkuh mereka sebagai wujud kampanye anti aborsi. Tidak ada
aborsi yang aman, kemungkinan efeknya tetap ada baik psikologis maupun
berkaitan dengan kelangsungan kesehatan reproduksi perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar